CUSTOMS -- DOUANE Indonesia
CUSTOMS (Instansi Kepabeanan) di mana pun di dunia ini
adalah suatu organisasi yang keberadaannya sangat essensial bagi suatu negara,
demikian pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Instansi Kepabeanan
Indonesia) adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting pada
suatu negara.
Bea dan Cukai (selanjutnya kita sebut Bea Cukai) merupakan
institusi global yang hampir semua negara di dunia memilikinya. Bea Cukai
merupakan perangkat negara “konvensional” seperti halnya kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, ataupun angkatan bersenjata, yang eksistensinya telah ada sepanjang
masa sejarah negara itu sendiri. Fungsi Bea Cukai di Indonesia diyakini sudah
ada sejak zaman kerajaan dahulu, namun belum ditemukan bukti-bukti tertulis
yang kuat. Kelembagaannya pada waktu itu masih bersifat “lokal” sesuai wilayah
kerajaannya. Sejak VOC masuk, barulah Bea Cukai mulai terlembagakan secara
“nasional”. Pada masa Hindia Belanda tersebut, masuk pula istilah douane untuk
menyebut petugas Bea Cukai (istilah ini acapkali masih melekat sampai saat
ini). Nama resmi Bea Cukai pada masa Hindia Belanda tersebut adalah De Dienst
der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I. U & A) atau dalam terjemah
bebasnya berarti “Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta Cukai”. Tugasnya adalah
memungut invoer-rechten (bea impor/masuk), uitvoer-rechten (bea ekspor/keluar),
dan accijnzen (excise/ cukai). Tugas memungut bea (“bea” berasal dari bahasa
Sansekerta), baik impor maupun ekspor, serta cukai (berasal dari bahasa India)
inilah yang kemudian memunculkan istilah Bea dan Cukai di Indonesia. Peraturan
yang melandasi saat itu di antaranya Gouvernment Besluit Nomor 33 tanggal 22
Desember 1928 yang kemudian diubah dengan keputusan pemerintah tertanggal 1
Juni 1934. Pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Undang-undang Nomor 13
tentang Pembukaan Kantor-kantor Pemerintahan di Jawa dan Sumatera tanggal 29
April 1942, tugas pengurusan bea impor dan bea ekspor ditiadakan, Bea Cukai
sementara hanya mengurusi cukai saja. Lembaga Bea Cukai setelah Indonesia
merdeka, dibentuk pada tanggal 01 Oktober 1946 dengan nama Pejabatan Bea dan
Cukai. Saat itu Menteri Muda Keuangan, Sjafrudin Prawiranegara, menunjuk R.A
Kartadjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama. Jika ditanya
kapan hari lahir Bea Cukai Indonesia, maka 1 Oktober 1946 dapat dipandang
sebagai tanggal yang tepat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948,
istilah Pejabatan Bea Cukai berubah menjadi nama menjadi Jawatan Bea dan Cukai,
yang bertahan sampai tahun 1965. Setelah tahun 1965 hingga sekarang, namanya
menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Sekitar abad 16 di wilayah Nusantara ada beberapa kerajaan
yang telah memiliki syahbandar di antaranya Kerajaan Aceh masa kejayaan Sultan
Iskandar Muda, dan Kerajaan Demak yang memiliki pelabuhan Jepara. Demikian
halnya pelabuhan-pelabuhan seperti Malaka, Banten, Tuban, Gresik, Martapura,
Banjarmasin, Makassar, dan pelabuhan lainnya peran syahbandar yang memungut bea
masuk dan keluar telah dikenal dalam kegiatan perdagangan. Apapun namanya
pungutan-pungutan yang telah ada pada masa kerajaan itu adalah bentuk awal
dari pelaksanaan kegiatan kebeacukaian di Indonesia.
Pada zaman kolonial, kegiatan kebeacukaian tersebut
mulai terlembaga secara modern ketika pada 1 Oktober 1620 Jan Pieterszoon Coen,
Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menetapkan secara
resmi tarif tol atau pungutan resmi atas barang ekspor dan impor yang berlaku
di Hindia Timur (Oost-Indische). Peraturan tarif tol yang diperlakukan untuk
kepentingan fiskal itu memuat 84 macam jenis barang dengan tarif sama besarnya
untuk semua jenis barang yaitu 5% kecuali tarif tol untuk arak sebesar
10%.
Pada 1656 VOC kembali menetapkan tarif bea masuk yang
bersifat melindungi (proteksi). Pada perkembangannya di masa VOC, beberapa
Gubernur Jenderal yang memimpin maskapai dagang itu terus memperbarui sistem
tarif tol yang diperlukan untuk kepentingan fiskal atau sebagai proteksi atas
barang tertentu sampai berakhirnya masa kejayaan VOC karena praktek korupsi
para pejabatnya pada tahun 1799.
Sejarah
Kegiatan Kebeacukaian di Indonesia
Sejak VOC secara resmi dibubarkan, beberapa wilayah
kekuasaannya di Hindia Timur jatuh ke tangan Inggris. Penguasa Inggris
mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Dalam
rangka memulihkan tata kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik di wilayah
Hindia Timur, Raffles mulai menerapkan sistem baru yang banyak dipengaruhi oleh
pengalamannya di India.
Raffles mengubah sistem pajak yang bersifat komunal menjadi
pajak kepala atau individu, terutama dalam pajak tanah. Praktek kebeacuakaian
atas sewa boom atau penyewaan pemungutan bea masuk dan bea keluar yang telah
berlangsung sejak zaman VOC mulai dihapuskan secara total sejak 1811. Selama
lima tahun berkuasa di Hindia Timur, pemerintahan Inggris telah mengubah
besaran tarif tol sebanyak empat kali. Perubahan besaran tarif tol itu berkisar
antara 6% hingga 10%.
Setelah kekuasaan Inggris berakhir, Hindia Timur disebut
sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal
(1816-1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan Van Der Capellen. Pemerintah
Hindia Belanda membuat kebijakan tarif tol baru yang berguna untuk
menguntungkan kapal dagang Belanda dan memperkuat industri tekstil di negeri
Belanda. Inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem tarif proteksi.
Pada 1865 pemerintah Belanda menetapkan Undang-Undang Tarif
Hindia Belanda yang pertama dan terus diperbarui hingga pada 1909 diberlakukan
Indische Tarief Wet sebagai perbaikan dari undang-undang sebelumnya. Sebagai
pelaksanaan dari Wet yang ditetapkan oleh Negeri Belanda, di Hindia Belanda
(Indonesia) pemerintah juga menetapkan peraturan dalam bentuk ordonansi yang
pada 1932 dikenal dengan sebutan Reachten Ordonantie atau Ordonansi Bea (OB).
Di samping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan
beberapa ordonansi cukai yang berlaku hingga berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), yaitu Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (1873 dan
1934), Minyak Bumi (1886), Bir (1931), Tembakau (1932), Gula (1933), dan Korek
Api (dihapus pada 1947).
sumber : lenterakecil.com ; www.beacukai.go.id