Selasa, 04 April 2017

CUSTOMS -- DOUANE Indonesia


CUSTOMS (Instansi Kepabeanan) di mana pun di dunia ini adalah suatu organisasi yang keberadaannya sangat essensial bagi suatu negara, demikian pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Instansi Kepabeanan Indonesia) adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting pada suatu negara.

Bea dan Cukai (selanjutnya kita sebut Bea Cukai) merupakan institusi global yang hampir semua negara di dunia memilikinya. Bea Cukai merupakan perangkat negara “konvensional” seperti halnya kepolisian, kejaksaan, pengadilan, ataupun angkatan bersenjata, yang eksistensinya telah ada sepanjang masa sejarah negara itu sendiri. Fungsi Bea Cukai di Indonesia diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan dahulu, namun belum ditemukan bukti-bukti tertulis yang kuat. Kelembagaannya pada waktu itu masih bersifat “lokal” sesuai wilayah kerajaannya. Sejak VOC masuk, barulah Bea Cukai mulai terlembagakan secara “nasional”. Pada masa Hindia Belanda tersebut, masuk pula istilah douane untuk menyebut petugas Bea Cukai (istilah ini acapkali masih melekat sampai saat ini). Nama resmi Bea Cukai pada masa Hindia Belanda tersebut adalah De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I. U & A) atau dalam terjemah bebasnya berarti “Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta Cukai”. Tugasnya adalah memungut invoer-rechten (bea impor/masuk), uitvoer-rechten (bea ekspor/keluar), dan accijnzen (excise/ cukai). Tugas memungut bea (“bea” berasal dari bahasa Sansekerta), baik impor maupun ekspor, serta cukai (berasal dari bahasa India) inilah yang kemudian memunculkan istilah Bea dan Cukai di Indonesia. Peraturan yang melandasi saat itu di antaranya Gouvernment Besluit Nomor 33 tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian diubah dengan keputusan pemerintah tertanggal 1 Juni 1934. Pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tentang Pembukaan Kantor-kantor Pemerintahan di Jawa dan Sumatera tanggal 29 April 1942, tugas pengurusan bea impor dan bea ekspor ditiadakan, Bea Cukai sementara hanya mengurusi cukai saja. Lembaga Bea Cukai setelah Indonesia merdeka, dibentuk pada tanggal 01 Oktober 1946 dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai. Saat itu Menteri Muda Keuangan, Sjafrudin Prawiranegara, menunjuk R.A Kartadjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama. Jika ditanya kapan hari lahir Bea Cukai Indonesia, maka 1 Oktober 1946 dapat dipandang sebagai tanggal yang tepat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai berubah menjadi nama menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan sampai tahun 1965. Setelah tahun 1965 hingga sekarang, namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

Sekitar abad 16 di wilayah Nusantara ada beberapa kerajaan yang telah memiliki syahbandar di antaranya Kerajaan Aceh masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, dan Kerajaan Demak yang memiliki pelabuhan Jepara. Demikian halnya pelabuhan-pelabuhan seperti Malaka, Banten, Tuban, Gresik, Martapura, Banjarmasin, Makassar, dan pelabuhan lainnya peran syahbandar yang memungut bea masuk dan keluar telah dikenal dalam kegiatan perdagangan. Apapun namanya pungutan-pungutan yang telah ada pada masa kerajaan itu adalah bentuk awal dari pelaksanaan kegiatan kebeacukaian di Indonesia.


Pada zaman kolonial, kegiatan kebeacukaian tersebut mulai terlembaga secara modern ketika pada 1 Oktober 1620 Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menetapkan secara resmi tarif tol atau pungutan resmi atas barang ekspor dan impor yang berlaku di Hindia Timur (Oost-Indische). Peraturan tarif tol yang diperlakukan untuk kepentingan fiskal itu memuat 84 macam jenis barang dengan tarif sama besarnya untuk semua jenis barang yaitu 5% kecuali tarif tol untuk arak sebesar 10%.

Pada 1656 VOC kembali menetapkan tarif bea masuk yang bersifat melindungi (proteksi). Pada perkembangannya di masa VOC, beberapa Gubernur Jenderal yang memimpin maskapai dagang itu terus memperbarui sistem tarif tol yang diperlukan untuk kepentingan fiskal atau sebagai proteksi atas barang tertentu sampai berakhirnya masa kejayaan VOC karena praktek korupsi para pejabatnya pada tahun 1799.


Sejarah Kegiatan Kebeacukaian di Indonesia

Sejak VOC secara resmi dibubarkan, beberapa wilayah kekuasaannya di Hindia Timur jatuh ke tangan Inggris. Penguasa Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Dalam rangka memulihkan tata kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik di wilayah Hindia Timur, Raffles mulai menerapkan sistem baru yang banyak dipengaruhi oleh pengalamannya di India.
Raffles mengubah sistem pajak yang bersifat komunal menjadi pajak kepala atau individu, terutama dalam pajak tanah. Praktek kebeacuakaian atas sewa boom atau penyewaan pemungutan bea masuk dan bea keluar yang telah berlangsung sejak zaman VOC mulai dihapuskan secara total sejak 1811. Selama lima tahun berkuasa di Hindia Timur, pemerintahan Inggris telah mengubah besaran tarif tol sebanyak empat kali. Perubahan besaran tarif tol itu berkisar antara 6% hingga 10%.
Setelah kekuasaan Inggris berakhir, Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1816-1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan Van Der Capellen. Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan tarif tol baru yang berguna untuk menguntungkan kapal dagang Belanda dan memperkuat industri tekstil di negeri Belanda. Inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem tarif proteksi.


Pada 1865 pemerintah Belanda menetapkan Undang-Undang Tarif Hindia Belanda yang pertama dan terus diperbarui hingga pada 1909 diberlakukan Indische Tarief Wet sebagai perbaikan dari undang-undang sebelumnya. Sebagai pelaksanaan dari Wet yang ditetapkan oleh Negeri Belanda, di Hindia Belanda (Indonesia) pemerintah juga menetapkan peraturan dalam bentuk ordonansi yang pada 1932 dikenal dengan sebutan Reachten Ordonantie atau Ordonansi Bea (OB).
Di samping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan beberapa ordonansi cukai yang berlaku hingga berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (1873 dan 1934), Minyak Bumi (1886), Bir (1931), Tembakau (1932), Gula (1933), dan Korek Api (dihapus pada 1947).

sumber : lenterakecil.com ; www.beacukai.go.id


Bagikan

Jangan lewatkan

CUSTOMS -- DOUANE Indonesia
4/ 5
Oleh