Sejarah Bea Cukai
Bea dan Cukai
merupakan salah satu institusi penting yang dimiliki hampir setiap sistem
pemerintahan di dunia. Di Indonesia, Bea dan Cukai merupakan salah satu warisan
perjalanan dari sejarah masa lalu. Bagi kerajaan-kerajaan maritim Indonesia,
pelabuhan merupakan pintu gerbang barang impor dan ekspor, dimana arus barang
dapat diawasi dan dikenakan bea seperlunya. Pada masa kejayaan selat Malaka di
era kerajaan Islam, Bea Cukai berperan aktif dalam perdagangan international.
Begitu kapal memasuki pelabuhan, segera syahbandar datang menghampirinya. Tugas
utama seorang syahbandar adalah mengurus dan mengawasi perdagangan orang-orang
yang dibawahinya, termasuk pengawasan di pasar dan di gudang. Ia harus
mengawasi timbangan, ukuran dagangan, dan mata uang yang dipertukarkan.Syahbandar
memberi petunjuk dan nasihat tentang cara-cara berdagang setempat, ia pula
menaksir barang dagangan yang dibawa dan menentukan pajak yang harus dipenuhi.
Para Syahbandar tersebut dikepalai oleh seorang pejabat Tumenggung, yang dalam
urusan dagang kedudukannya sangat penting karena ialah yang harus menerima bea
masuk dan bea keluar dari barang yang diperdagangkan (Marwati Djoened
Poepanegoro dan Nugroho Notosusanto, 2008) Berdasarkan “Sejarah Nasional
Indonesia III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia”
oleh Marwati Djoened Poepanegoro dan Nugroho Notosusanto; Cetakan Pertama
2008; Balai Pustaka, Hal. 146-153)
Bea Cukai mulai
terlembagakan secara “nasional” pada masa Hindia Belanda, dengan nama
resmi De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (I. U &
A) atau dalam
terjemah bebasnya berarti “Jawatan Bea Impor dan Ekspor serta Cukai”. Tugasnya
adalah memungut invoer-rechten (bea impor/masuk), uitvoererechten (bea
ekspor/keluar), dan accijnzen (excise/ cukai). Tugas memungut bea (“bea”
berasal dari bahasa Sansekerta), baik impor maupun ekspor, serta cukai (berasal
dari bahasa India) inilah yang kemudian memunculkan istilah Bea dan Cukai di
Indonesia. Lembaga Bea Cukai setelah Indonesia merdeka, dibentuk pada tanggal
01 Oktober 1945 dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai, yang kemudian pada tahun
1948 berubah menjadi Jawatan Bea dan Cukai sampai tahun 1965. Setelah tahun
1965 hingga sekarang menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). DJBC
merupakan unit eselon I di bawah Departemen Keuangan, yang dipimpin oleh
seorang Direktur Jenderal
Sejarah UU Cukai di Indonesia
Pungutan cukai (excise tax) modern pertama kali dilakukan oleh bangsa
Holland sekitar abad ke 17. Bentuk pungutan cukai tersebut dilakukan dan
dikelola oleh penguasa pada saat itu. Kemudian bentuk pungutan cukai lainnya
dilaksanakan oleh Inggris yang menetapkan aturan tentang pungutan cukai secara
resmi dalam bentuk perundang-undangan pada tahun 1643. Sementara pemerintah
Amerika Serikat memberlakukan pungutan cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman beralkohol) pada tahun 1791
(Encarta, 2006). Bagaimana dengan cukai di Indonesia ?
Sejarah pemungutan
cukai pertama di Indonesia dimulai pada zaman kolonial Belanda pada tahun 1886
terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonnantie van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya
diberlakukan terhadap komoditi tertentu lainnya, sebagai berikut :
- Alkohol Sulingan, berdasarkan Ordonnantie Van 27 Februari 1898, Stbl. 1898 Nomor 90 en 92;
- Bir, berdasarkan Bieraccijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 488 en 489;
- Tembakau, berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517;
- Gula, berdasarkan Suikeraccijns Ordonnantie, Stbl. 1933 Nomor 351.
Dalam perkembangannya
produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut beserta peraturan pelaksanaannya
masih diberlakukan hingga tahun 1995 meskipun bangsa Indonesia telah merdeka
sejak tahun 1945. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya ketentuan Pasal II
Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Pemberlakuan ordonansi cukai
produk kolonial Belanda pasca kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki banyak
kekurangan dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD
1945, antara lain :
- diskriminatif;
- obyeknya
terbatas;
- tidak
sejalan dengan tuntutan pembangunan;
- tidak
mencerminkan semangat kemandirian.
Pengertian diskriminatif adalah adanya pemberlakuan ketentuan cukai
yang berbeda untuk kelima obyek cukai tersebut apabila diimpor dari luar
negeri, yaitu untuk gula, hasil tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai atas
pengimporannya sedangkan bir dan alkohol sulingan tidak dikenakan cukai.
Kondisi lain yang diskriminatif adalah pemberlakuan ordonansi cukai alkohol
sulingan eksklusif hanya
untuk Pulau Jawa dan Madura saja, sementara wilayah lain dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak berlaku.
Pengertian obyek yang
terbatas bahwa pemberlakuan
ordonansi cukai lama hanya terbatas pada kelima jenis barang dan Undang-undang
tersebut tidak memberikan kemungkinan adanya perluasan obyek cukai. Hal ini
memberikan ruang gerak yang terbatas bagi pemerintah untuk menggali potensi
penerimaan yang ada, khususnya terhadap komoditi-komoditi yang harus dikontrol
atau dibatasi peredarannya.
Berkaitan dengan
tuntutan pembangunan dan semangat kemandirian, diperlukan suatu peraturan
perundang-undangan tentang cukai yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 dalam rangka menggantikan produk-produk hukum kolonial Belanda yang
sudah tidak relevan lagi digunakan. Untuk itulah segala upaya dan pemikiran
dikerahkan oleh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk
menyusun suatu Undang-undang tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan
jaman dan sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945.
Sejak tanggal 1 April
1996 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai resmi diberlakukan
menggantikan kelima ordonansi cukai lama. Dalam Undang-undang tersebut diatur
suatu ketentuan baru tentang cukai yang terintegrasi dan mengatur hal-hal baru
yang sebelumnya belum pernah ada, antara lain: ketentuan sanksi administrasi,
lembaga banding, audit di bidang cukai, penyidikan, pengawasan fisik dan
administratif, serta kemungkinan untuk memperluas obyek cukai. Materi
Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 selain bertujuan membina dan mengatur juga
memperhatikan prinsip-prinsip:
- Keadilan
dalam keseimbangan, yaitu kewajiban cukai hanya dibebankan kepada
orang-orang yang memang seharusnya diwajibkan dan diterapkan secara sama
dalam hal dan kondisi yang sama;
- Pemberian
insentif yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional berupa
fasilitas pembebasan cukai;
- Pembatasan
dalam rangka perlindungan masyarakat di bidang kesehatan, ketertiban, dan
keamanan;
- Netral
dalam pemungutan cukai yang tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian
nasional;
- Kelayakan
administrasi dengan maksud agar pelaksanaan administrasi cukai dapat
dilaksanakan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh
masyarakat;
- Kepentingan
penerimaan negara, dalam arti bahwa fleksibilitas ketentuan Undang-undang
ini dapat menjamin peningkatan penerimaan negara;
- Pengawasan
dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Sejalan dengan
perkembangan sosial ekonomi nasional dan kebijakan politik pemerintah
diperlukan suatu perubahan terhadap Undang-undang cukai agar mampu menampung
dan memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Amandemen terhadap Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai dilaksanakan
dengan pengesahan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 yang mulai berlaku pada
tanggal 15 Agustus 2007. Beberapa materi perubahan dalam amandemen
Undang-undang tentang Cukai tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai
berikut:
- Perluasan
cara pelunasan cukai yang lebih akomodatif untuk menyesuaikan dengan
praktek bisnis tanpa mengabaikan pengamanan hak-hak negara;
- Penyempurnaan
sistem penagihan utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi
administrasi berupa denda dengan menambahkan skema pembayaran secara
angsuran;
- Menghapus
ketentuan yang mengatur lembaga banding untuk menyesuaikan dengan
ketentuan yang mengatur mengenai Badan Peradilan Pajak;
- Penyelenggaraan
pembukuan yang diselaraskan dengan perkembangan zaman dan ketentuan audit
cukai;
- Penegasan
penggunaan dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data
elektronik dan sanksi terhadap pelanggaran terhadap pihak yang mengakses
sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di
bidang cukai secara tidak sah;
- Pengaturan
tentang pembinaan pegawai DJBC dengan kode etik dan penyelesaian
pelanggarannya melalui komisi kode etik serta pemberian insentif kepada
DJBC berdasarkan kinerja;
- Pengaturan pemberian penghargaan (reward) bagi yang berjasa;
- Pengaturan
tentang bagi hasil dari cukai hasil tembakau kepada pemerintah daerah.
sumber : kwbckepri.beacukai.go.id
Bagikan
Sejarah Bea Cukai
4/
5
Oleh
Fadlan alfarobi